Dalam sebuah haditsnya, Rasulullaah saw bersabda : ada tiga hal yang siapa saja di dalamnya tentu akan merasakan lezatnya iman : apabila Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari pada yang lain, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran laksana ia benci untuk dicampakkan kepada neraka”,(HR. Bukhari)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ini, Rasulullah menyebut tiga hal yang bisa mendatangkan kelezatan iman.
Pertama,ketulusan cinta pada Allah dan Rasul-Nya. Kecintaan kepada Allah mutlak dilakukan. Cinta yang tak ada bandingannya. Kecintaan kepada Allah benar-benar harus tulus dan tanpa paksaan. Sebab, Dialah satu-satunya pencipta Alam semesta ini. Dialah tempat bergantung semua makhluk hidup. Dialah yang memulai roda kehidupan sampai pada hal yang paling detil sekalipun.
Ketika seorang hamba benar-benar ingin menyerahkan cintanya pada Allah, ia akan merasakan lezatnya iman. Ia tak mungkin gundah berkepanjangan saat ditimpa musibah. Ia tak mungkin larut dalam beragam kemewahan yang tiada guna kalau diberikan kekayaan. Cintanya hanya pada Allah. Bahkan, ketika orang lain merasakan sakit, ia justru merasakan kenikmatan.
Mereka yang ingin mencintai Allah, tentu tak bisa melepaskan kecintaannya pada Rasulullah saw. Cinta pada Allah dan Rasul-Nya adalah rangkaian yang tak bisa dipisah, Allah berfirman, “Katakanlah, jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu (pula).” QS ali Imran :31) Bagi mereka yang mau mencintai Nabi-Nya. Kadar cinta pada Rasulullah saw tak boleh di bawah cinta pada siapa pun selain Allah. Bahkan pada diri sendiri sekalipun. Umar bin Khathab pernah menyatakan bahwa ia mencintai Rasulullah saw melebihi siapapun kecuali dirinya sendiri. Ketika mengetahui hal ini, Rasulullah saw menyangkal. “Tidak ya Umar, engkau harus mencintaiku melebihi dirimu sendiri”, ujar Rasulullah saw. “Ya wahai Rasulullah saw, sekarang aku mencintaimu melebihi cintaku pada diriku sendiri,” jawab Umar. “Sekarang (baru benar), ya Umar,” ujar Rasulullah saw.
Dari Urwah, Imam Baihaqi meriwayatkan ketika Hubaib bin Adi, seorang sahabat Rasulullah saw. ingin disalib oleh kaum musyrik, Abu Sufyan yang kala itu masih kafir bertanya, “Apakah engkau senang kalau Muhammad menggantikanmu untuk dipenggal kepalanya dan engkau kembali ke keluargamu dengan aman?”
Dengan tegas Hubaib menjawab. “Demi Allah, aku tidak akan senang seandainya Rasulullah saw hanya terkena duri, dan aku duduk bersama keluargaku di rumah.”
Sungguh mengagumkan, Hubaib merasa lebih baik terbunuh di tangan musuh daripada Rasulullah terkena duri sekalipun. Ini merupakan bentuk tingkatan cinta para sahabat kepada Rasulullah saw. Ketika disalib, mereka tidak takut, bahkan mungkin merasakan kenikmatan, inilah buah manisnya iman.
Kedua , persaudaraan yang tulus dalam jama’ah kaum Muslimin. Dalam Islam tidak boleh ada persaudaraan yang kokoh dan ikatan persahabatan yang intim, selain dilandasi ketulusan kepada Allah. Karenanya, salah satu golongan di antara tujuh kelompok yang akan mendapat naungan kelak adalah dua orang yang saling menicintai karena Allah, bersatu dan berpisah pun karena Allah (HR. Bukhari Muslim).
Persaudaraan Islam yang tulus dan semata-mata karena Allah, tak mungkin terwujud tanpa diberengi iman dan taqwa. Tak ada persaudaraan tanpa iman, tak ada ketulusan tanpa taqwa. Allah berfirman:” teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa.”(QS.az-Zukhruf; 67
Jiwa yang dipenuhi keimanan ketika berjumpa dengan jiwa yang sama, akan merasakan kenikmatan. Tak ada rasa iri dan dengki karena apa-apa yang menjadi milik saudaranya seolah-olah juga miliknya. Ikatan persaudaraan yang dilandasi ketaqwaan tak mungkin melahirkan rasa benci dan permusuhan.
Di antara yang mengungkapkan kesejatian persaudaraan dan kasih sayang adalah doa-doa kebaikan yang kamu panjatkan untuk saudaramu di luar pengetahuannya karena doa seperti ini tidak ternodai riya’ dan pamrih, seperti yang telah disebutkan oleh oleh Rasulullaah saw dalam sabdanya: “Doa seorang muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya sangat mustajab. Setiap kali berdoa di sisi kepalanya ada malaikat yang berkata. “Amiin, semoga kamu mendapat bagian yang serupa.” (H.R Muslim).
Rajutan persaudaraan yang benar-benar yang disatukan dengan ikatan yang tulus yang dibangun di atas kekuatan aqidah dan kelezatan iman akan melahirkan ketenangan dan kenyamanan, inilah salah satu buah dari manisnya iman.
Ketiga, benci pada kekafiran dan menjauhi pendukung kesesatan. Ketika iman telah merasuk kedalam jiwa. Ketika iman sudah tertanam dalam segala tindak tanduk. Ketika jiwa sudah merasakan nikmatnya iman. Maka, orang yang merasakannya akan segera lari dan menghindar dari kekafiran. Keimanan dan kekafiran adalah dua sisi yang bertolak belakang. Tak mungkin dalam jiwa seseorang tergabung dua sisi ini.
Indra mereka yang benar-benar sudah merasakan kelezatan iman, akan sensitif dan bisa mendeteksi dengan mudah untuk membedakan mana mana yang benar dan salah. Mereka mampu membedakan mana isme dan agama yang benar. Mereka bisa mencium aroma busuk yang berhembus dari Barat dan membawa racun yang mematikan. Mereka bisa memilah mana gerakan Islam yang benar-benar berjalan sesuai rel kebenaran, dan mana gerakan yang disetir oleh pendukung kebatilan.
Kelezatan iman hanya bisa dirasakan oleh mereka yang benar-benar mau meninggalkan kekafiran secara total. Bukan separuh-separuh. Manisnya iman hanya dapat dicicipi oleh mereka yang membenci kekafiran.
Menikmati sajian kelezatan Iman Abbad bin Bisyr
Saat itu malam hari. Rasulullaah saw dan pasukannya berhenti di sebuah bukit. Mereka baru saja kembali dari perang Dzatur riqa. Seperti biasa. Rasulullah saw memberikan tugas pada para sahabatnya untuk berjaga secara bergiliran. Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir mengatakan siap melaksnakan tugas itu. Keduanya sejak lama bersahabat dengan erat.
Dalam mengisi heningnya malam ,Abbad bin Bisyr menggunakan waktunya untuk beribadah. Sekejap kemudian, ia pun larut menikmati manisnya al-Quran yang ia baca dalam rangkaian shalat malamnya. Kekhusukan shalat dan bacaan alquran berpadu dalam jiwanya.
Sementara Ammar bin Yasir tidur -karena memang gilirannya untuk istirahat- Abbad terus larut dalam ibadahnya. Saat itulah seorang musuh mengintai dari kegelapan. Sebuah busur dan anak panah disiapkan dan segera ia arahkan ke arah Abbad yang masih tenggelam dalam telaga kenikmatan ibadah.
Anak panah pun melesat dan mengenai salah satu bagian tubuh Abbad. Sebagian riwayat memaparkan, Abbad mencabut anak panah itu tanpa merasa sakit sedikitpun. Lalu, ia meneruskan shalatnya. Panah kedua pun meluncur dan mengenai bagian tubuh Abbad. Seperti kejadian sebelumnya, Abbad mencabut panah itu, lalu meneruskan ibadahnya. Panah ketiga meluncur mengenai tubuh Abbad. Dan seperti sebelumnya, tanpa merasakan sakit Abbad mencabut anak panah itu. Selanjutnya ia meneruskan ibadahnya.
Ketika gilran Ammar bin Yasir tiba, Abbad pun membangunkan rekannya itu. Ammar kaget melihat darah mengucur dari tubuh Abbad. Melihat peristiwa itu, buru-buru melarikan diri.
“mengapa tidak membangunkan aku ketika engkau kena panah pertama? Tanya Ammar.
“ Aku sedang membaca al-Quran dalam shalat. Aku tak ingin memutuskan bacaanku. Demi Allah, kalau tidak karena takut menyia-nyiakan tugas Rasulullah saw, biarlah tubuhku itu putus daripada aku harus memutuskan bacaan dalam shalatku”, ujar Abbad.
Peristiwa yang dialami Abbad bin Bisyr itu merupakan contoh betapa kekhusyukan ibadah bisa melahirkan kenikmatan luar biasa. Bahkan, ketika secara wajar seharusnya Abbad merasakan sakit, tapi sebaliknya dia tak merasakannya. Ia larut dalam lezatnya ibadah. Inilah salah satu buah dari manisya iman.