Tantangan moral intelektual yang berada di depan Persitri, Pemudi Persis, HIMI Persis, dan IPPI sekarang cukup ruwet, dan karenanya tidak dapat dijawab dengan sambil lalu. Jawaban sambil lalu hanyalah akan mengaburkan pesoalan. Wanita kini, setelah dikoyak-koyak oleh materialisme hedonistik dan materialisme ateistis, memerlukan reorientasi moral yang segar, holistik dan melegakan. Maka, Alquran bila dipahami secara benar, sebagaimana Rasulullah saw dan generasi awal memahaminya, barangkali dapat kita tawarkan sebagai syifa untuk mengobati penyakit-penyakit dunia dan kemanusian yang semakin kompleks ini. Oleh sebab itu wanita Muslimat untuk tidak tampil sebagai iklan buruk dari Al-Quran.
Islam yang diwakili Rasulullah saat itu memahami kondisi perempuan yang selalu direndahkan oleh kaum pria di jazirah Arab saat itu. Diangkat dari suasana yang terang alias ditempatkan pada posisi yang semestinya. Allah memandang perempuan tidak dari bentuk fisik melainkan dari keimanan dan ketaqwaannya. Hal ini pun dipertegas Pierre Crabbites dalam artikelanya “Paham Muhammad terhadap Kaum Wanita”. Menjeaskan, “tiga belas abad silam, Muhammad memberikan jaminan kepada kaum ibu, para istri, dan anak-anak perempuan muslimah dengan mengangkat derajat mereka, yang pada ghalibnya belum pernah diterapkan terhadap kaum wanita pada sistem perundang-undangan yang berlaku di Barat”.
Al-Quran telah menjelaskan, bahwa kaum perempuan memiliki hak sama dengan pria dalam berbagai persoalan. Allah pun akan memberian penilaian yang sama dalam soal amal ibadah asal dilakukan penuh keihlasan dan ketaqwaan. ”Orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”(QS :9 ayat : 71).
Kedua ayat ini menurut Hamka, didampingi oleh beberapa ayat lain, memberikan jaminan dan kedudukan yang sama di hadapan Allah di antara mukmin laki-laki dengan mukmin perempuan. Apabila kita pandang ayat-ayat ini dari segala seginya, niscaya akan kelihatan bahwa kedudukan perempuan mendapat jaminan yang tinggi dan mulia. Terang dan nyata kesamaan tugasnya dengan laki-laki. Sama-sama memikul kewajiban dan sama-sama mendapat hak. Pahit dan manis beragama sama-sama ditanggungkan.
Diterangkan lagi dengan jelas apa saja tugas bersama yang mereka hadapi. Jelas terlihat betapa beratnya tugas tersebut. Pertama dalam menegakkan agama; amar ma’ruf. Menegakkan kebenaran dan keadilan, mengokohkan akhlak yang tinggi dan pembangunan masyarakat. Demikian juga nahi munkar, mencegah kemungkaran yang bisa menjatuhkan mutu masyarakat dan merusak akhlak, mengacaukan ketentraman yang telah ditegakkan selama ini. Kaum laki-laki beriman dan kaum perempuan beriman sama saja dalam tugasnya dalam amar ma’ruf nahi munkar ini. Rasulullah telah berkali-kali memperingatkan apabila amar ma’ruf nahi munkar tidak tegak lagi dalam satu masyarakat, akan berakibat masyarakat tesebut runtuh.
Di sinilah dapat difahami sebuah perkataan yang terkenal bahwasanya perempuan tiang negara. Jika perempuannya baik, baiklah negara, dan jika mereka bobrok, bobrok pula negara. Mereka adalah tiang; dan biasanya tiang rumah tidak begitu kelihatan. Namun, jika rumah sudah condong, periksalah tiangnya. Tandanya tianglah yang lapuk.
Ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin. Sebagian mereka menjadi penolong bagi yang lain, saling menjaga, saling membela, dan saling menyemangati sehingga bukan mukmin laki-laki yang dapat menaikkan martabat jiwanya dalam iman, perempuan pun dapat berbuat hal serupa sehingga mereka, keduanya, sama-sama besar dalam bidang masing-masing.
Dalam banyak hal, tercatat pula dalam sebuah hadits “Addunyaa mataa’un wa khoeru mata ‘ihaa almar’atu shalihah”. Ungkapan yang dikemukakan oleh Rasulullah saw. berabad yang lalu sungguh sangat menyejukkan, dan merupakan sumber motivasi bagi setiap wanita yang ingin menata diri untuk mejadi perhiasan terbaik di dunia ini. Kalau perhiasan dalam pengertian harfiah dapat berarti emas atau mutiara, maka demikian pula halnya dengan kualitas wanita sebagai perhiasan dunia. Wanita akan bernilai “emas” apabila dia wanita shalihah yang qonitah akan bernilai “mutiara” apabila dia wanita yang qanithah sekaligus hafizhah . Sementara wanita yang sempurna dan berada di surga (bidadari) Allah menyebutnya Lu’luim Maknun “ mutiara yang tersimpan”
Wanita Shalihah adalah wanita yang berdayaguna, ia dapat menggunakan potensi dirinya secara maksimal untuk dapat berkontribusi bagi keluarganya, masyarakatnya, bangsa dan umatnya. Selain berdaya guna, wanita shalihah juga diharapkan memiliki daya bina (qanithat), ia membina dirinya untuk menjadi dambaan Allah dan Rasulnya, yang berarti menjadi dambaan keluarga, masyarakat dan umatnya. Kemudian wanita shalihat dan qanithat ini diharapkan juga memiliki daya pelihara (hafizhah), yang berarti ia berusaha memelihara dirinya dari berbagai serbuan budaya negatif destruktif yang dibidikan oleh musuh-musuh Allah yang dapat merusak tatanan sosial secara umum.
So Girls, sudah saatnya para Mujahidah untuk kembali mengajak kaum perempuan mempelajari secara utuh nilai-nilai Islam, karena di dalamnya sangat menjunjung tingi harkat dan derajat wanita. Wanita atau perempuan, harus diakui merupakan pilar yang sangat penting dalam kehidupan. Tidak akan mungkin tercipta generasi yang tangguh bila tidak dihasilkan dari rahim perempuan yang tangguh dan berakhlakul karimah. Bagaimana negara akan dapat dikatakan baik bila kaum perempuannya sebagai ibu dan calon ibu justeru terjerumus di lubang hitam kelam.
Tidak diragukkan lagi bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang memberikan penghormatan dan peran yang sangat besar terhadap wanita, Karena begitu besar dan pentingnya peranan apa yang dimainkan oleh wanita, Islam memberikan perhatian yang besar pula terhadapnya, menjaganya, menyiapkan dan mengkondisikannya sedemikian rupa agar dia layak untuk mengemban tugas besar dan peranan penting tersebut.
Tugas dan peranan penting itu tidak lain adalah mencetak dan menyiapkan generasi unggulan.
Sungguh benarlah apa yang dikatakan Hafied Ibrahim, penyair kenamaan asal Mesir dalam bait-bait puisinya:
Ibu adalah madrasah
Yang bila kau siapkan dengan baik,
Berarti engkau menyiapkan generasi yang terdidik.
Karenanya, tidak heran jika kemunculan tokoh penting dan berpengaruh dalam Islam, baik dulu maupun sekarang, seringkali dilatarbelakangi oleh sentuhan-sentuhan tangan-tangan lembut para ibunda mulia, yang demikian terampil menggembleng mereka. Hinga mengantarkan mereka menjadi orang-orang sukses. Para ibu tersebut memainkan suatu peranan yang tidak akan pernah sangup dilakukan oleh kaum pria.
Jelas sekali dibalik pria yang agung, ada seorang ibu teladan. Demikian kata orang bijak tempo dulu. Jika ada lelaki yang menjadi ulama cendekia, tokoh ternama, atau pahlawan kesatria, maka lihatlah ibu mereka. Karena ibu berperan besar dalam membentuk watak, karakter dan kepribadian seseorang. Ibu adalah madrasah pertama sebelum si kecil mengenyam pendidikan di sekolah manapun. Maka kecerdasan, keuletan dan perangai ibu menjadi faktor utama dalam mengukir masa depan anak.
Perempuan Obyek Materialisme
Kapitalisme, hedonisme atau paham-paham barat yang cenderung banyak madhorot ketimbang manfaatnya, lebih dominan menimpa mahluk yang bernama perempuan. Mau enggak mau, ternyata mahluk ini malah menjadi obyek bagi kepentingan komersial, yang terkadang menjerumuskan mereka sebagai sapi perahan yang dituntut menjadi mesin penggerak uang. Perempuan memang rentan diperalat untuk kepentingan bisnis. Disadari atau tidak, mereka terjun didalamnya, telah menjadi kaum terjajah oleh sebuah ideologi materialistik.
Triple S (Food, Fashion and Fun dan kwatet S (Song, Sex, Sport, Sinema) menjadi anutan bagi mereka yang mengkultuskan budaya permisif serta hedonistik. Acara-acara sejenis pemilihan model, ratu kecantikan, penyanyi favorit, film bertema kebebasan dan mistik menyebar dimana-mana, semakin mencengkram nilai-nilai budaya dan menjadikan kaum perempuan sebagai bahan eksploitasi dan mendidik sebuah generasi.
Keberadaan kita dalam era globalisasi membuat apa saja yang terjadi di berbagai belahan dunia akan mudah kita akses dengan cepat pada suatu sisi, sementara pada sisi lainnya memiliki daya goda materi dan pikiran yang lebih kuat. Sehingga hidup di era ini memiliki tantangan yang lebih berat dalam membesarkan dan mendidik sebuah generasi. Salah satu hal yang lebih memprihatinkan adalah peranan media elektronik yang memiliki pengaruh daya sihir. Seluruh generasi di dunia ketiga yang tengah berkembang terpukau dan menghabiskan sebagian besar waktunya disana.
Harapan umat dewasa ini adalah kepada wanita terdidik agar mampu menjaga diri dari sebutan budaya negatif, dan mau berkerja keras untuk mensosialisasikan nilai hakiki kepada kebanyakan wanita yang belum mengetahui arah kehidupannya.
Napoleon Bonaparte pernah ditanya seseorang, “ Apakah benteng Perancis yang kokoh itu?”
Ia menjawab. Ibu-ibu yang baik”
Ghoul Simon mengatakan, “Seorang wanita haruslah tetap sebagai ‘wanita’, karena dengan karakteristik yang semacam ini, ia akan menemukan kebahagiaannya dan memberikan nya kepada orang lain, maka hendaknya kita memperbaiki perilaku wanita. Akan tetapi, tidak dengan cara mengubahnya menjadi laki-laki., karena dengan demikian mereka (wanita) akan kehilangan banyak kebaikan dan kita akan kehilangan segalanya
Masyarakat umum memiliki pendirian seputar masalah ini, yang ditunjukkan dengan demontrasi yang digalang kaum wanita di jantung sebuah ibu kota negara Eropa, Copehagen, yang diikuti oleh sejumlah pemudi dan mahasiswi dari berbagai universitas. Mereka meneriakkan yel-yel yang tertulis di spanduk yang mereka bawa, yang berbunyi,
“ Kami menolak untuk dijadikan barang atau bena mati…
Kami menolak untuk dijadikan barang dagangan buat pedagang
Pornografi….Kebahagiaan kami di dapur…
Kami ingin wanita tetap berada di rumah…
Kembalikanlah kewanitaan Kami…
Untuk menguatkan jati diri wanita, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah bertutur :
“Janganlah hatimu, kamu jadikan seperti spons (Sponge), yang menyerap apa saja. Tetapi jadikanlah seperti kaca melihat hakikat dari belakang nya dan tidak dimasuki sesuatu. Ia mengambil apa yang bermanfaat dan meninggalkan yang berbahaya, memunggut yang baik dan membuang yang jelek dan rusak”
Wanita spons adalah wanita yang kosong dari agama dan pemikiran. Ia suka mengekor dan rela mengikuti apapun, dan rela mengikuti apapun tanpa menyeleksi dan menyaring lebih dahulu. Ia menjadi mirip sebuah spons (benda serupa bunga karang) yang menyerap setiap benda cair yang datang kepadanya, tidak dapat membedakan mana yang bersih dan mana yang kotor. Ia menyerap air dingin yang jernih dan air yang keruh. Perbuatan, ucapan dan gerak-gerik wanita spons adalah sesuai dengan hadits Rasulullah saw, “Kalian sungguh akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kamu, persis seperti satu bulu panah dengan bulu panah yang lain sehingga jika mereka masuk ke lubang biawak, kamu akan ikut memasukinya”. (H.R. Bukhori)
Banyak wanita yang persis seperti bulu panah, bahkan mereka masuk ke lubang biawak dan tidak keluar lagi. Berbeda dengan wanita Muslimah, ia mempunyai kelebihan. Ia menimbang segala perkara dengan mizan (timbangan) syari’ah. Ia memandang permasalahan dengan pandangan agama yang cocok dengan firman Allah dan sabda Rasul-Nya ia ambil; yang tidak sesuai ia tinggalkan dan berseru agar perkara tersebut ditinggalkan.
Membongkar Akar Historis Budaya Materialisme Hedonistis
Menurut Dr. A. Syafii Ma’arif : Paham materialisme hedonistik bukanlah hal yang baru dalam sejarah kemanusiaan. Tapi bahwa paham ini telah menyeruak begitu jauh dan mempengaruhi sikap-sikap manusia terhadap hidup begitu dalam adalah gejala yang belum lama. Akarnya barangkali dapat dicari pada efek sampingan dari kemajuan ilmu dan tekhnologi yang terlepas dari kendali moral. Paham ini mengajarkan bahwa benda dan kesenangan duniawi adalah tujuan hidup manusia sendiri. Dalam kerangka prinsip ini, adalah sia-sia bagi orang untuk memikirkan tentang sesuatu yang berada di luar jangkauan persepsi intelektual manusia (alghaib, menurut tema Al-Quran). Implikasi dari pandangan ini terhadap peradaban manusia sungguh luar biasa, karena sikap yang lahir dan rahim paham ini sama sekali berada di luar pertimbangan-pertimbangan moral ilahiah. Apalagi sikap-sikap ini memanfaatkan kemajuan ilmu dan teknologi, hingga pengaruhnya kadang-kadang terasa sangat spektakuler. Di tanah air kita sampai batas-batas dan tingkat-tingkat tertentu, gaya hidup hedonistik mulai menampakkan sosoknya. Akibat yang lebih dalam ialah hubungan antarmanusia seluruhnya ditentukan oleh uang, hingga nilai-nilai luhur dan transendental menjadi “ takluk” ke bawah duri kekuasaan materi itu.
Kalau manusia memang bahagia dengan situasi kehidupan semacam ini, mungkin tidak akan mengundang masalah. Tapi pengalaman kita menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati itu tidak semakin dekat, malah semakin menjauh. Gejala alienation (keterasingan) maunsia dari masyarakat dan dari dirinya sudah banyak dibicarakan orang terutama oleh pengkritik sosial di Barat, antara oleh Lewis Mumfrod. Mumfrod memakai terma megamachine untuk melukiskan suatu sistem sosial yang homogen dan sepenuhnya terorganisasi; di dalamnya masyarakat tersebut berfungsi sebagai mesin, sedangkan manusia menjadi bagian-bagiannya (from, hlm 29-30).
Sikap budaya sistem ini, lagi-lagi menurut Fromm, dibimbing oleh dua prinsip. Pertama, Prinsip ‘Dapat/Mungkin’ mengandung harus ‘Harus’. Dalam operasinya prinsip ini ialah bahwa sesuatu harus dikerjakan bila secara teknis memang mungkin untuk itu. Jadi, bila memang mungkin membuat senjata nuklir, itu harus dikerjakan, sekalipun dapat berakhir dengan kehancuran semesta bagi manusia dan peradabannya. Kedua, adalah prinsip efisiensi dan hasil maksimal. Tuntutan akan efisiensi maksimal ini menjurus kepada tuntutan minimalnya individualitas. Prinsip ini mengajarkan bahwa mesin sosial akan bekerja efisien bila individu dipotong-potong menjadi unit-unit yang sepenuhnya dapat dihitung. Lalu dimana kepribadian mereka? Kepribadian mereka diekspresikan pada kartu-kartu tancapan (punched cards). Dalam sistem ini manusia harus diturunkan martabatnya sebagai individu dan diajarkan agar mencari identitasnya dalam korporasi, bukan dalam diri mereka sendiri.
Dalam sistem ini, secara lahiriah manusia tampaknya hidup serba makmur dan gemerlapan, tapi batinnya kropos dan kering kerontang, karena mereka telah kehilangan kepribadiannya. Dalam kehidupan sehari-hari budaya hedonistik ini diekspresikan oleh doktrin “to have more and to use more” (untuk memiliki lebih banyak dan menggunakan lebih banyak).
Masalahnya bagi kita ialah sebagaimana telah disinggung sedikit di atas, bahwa budaya hedonistik ini telah mulai melanda sebagian masyarakat kita, sementara kebanyakan kita tidak siap menghadapinya. Dengan kata lain, iman kita tidak selalu dalam posisi unggul berhadapan dengan perubahan orientasi budaya masyarakat. Ini artinya bahwa keberagamaan kita umumnya adalah keberagamaan yang dangkal dan labil. Dalam budaya hedonistik ini, kita menyaksikan bahwa daftar keinginan (wants) telah diubah menjadi daftar kebutuhan (needs), sedang keinginan itu berskala tanpa batas.
Yang kita soroti di atas banyak menyangkut aspek intelektual-moral dan sikap-sikap materialistik-hedonistik perempuan abad ini. Orang yang berpikir sehat dan mendalam tentu tidak puas dengan mengetahui gejala lahir ini. Mereka akan bertanya lebih jauh: Apakah landasan filosofis dari semua ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu berkonsultasi dengan Friederich Nitetzche telah meramalkan akan datangnya nihilisme pada dua abad kemudian. Nihilisme ini, menurut Nietzsche, bersumber pada rasionalisme dan kalkulasi, sedang simbol kekuatan nihilisme ialah ilmu modern (Bel, hlm 3). Dalam perspektif ini, maka materialisme ateistik tampaknya adalah fondasi filosofis dari fenomena yang kita bicarakan ini, sedangkan nihilisme adalah salah satu keonsekuensinya yang logikal. Nietzsche sendiri sebelum jadi gila telah memproklamasikan dengan mantap bahwa Tuhan telah mati. God is dead. Doktrin God is dead ini punya implikasi yang sangat luas dalam kehidupan manusia. Salah satu di antaranya ialah bahwa manusia menjadi ukuran segala-galanya (antroposentrisme). Seakan-akan manusia telah jadi mahakuasa dalam menentukan masalah baik dan buruk. Nietzshe berbicara tentang moralitas dan mempertanyakan validitas ukuran-ukuran moral yang kita kenal selama ini. Ia ingin menghapus kata-kata versus (lawan) baik terhadap jahat, hingga batas antara keduanya menjadi kabur sama sekali. Ia mencontohkan, misalnya tentang kasih sayang ibu terhadap anak sebagai sesuatu yang baik, tapi sisi lain dari sikap ini adalah dominasi ibu terhadap anak sebagai suatu yang jahat. Contoh lain adalah sikap mementingkan diri sendiri (selfisness) yang menurut ukuran moral selama ini adalah jahat. Tapi sisi lain dari sikap ini, kata Nietzsche, adalah selffrespect (rasa hormat diri) dan self-control (kendali diri), dan kedua sifat ini adalah baik. Oleh sebab itu, katanya, mengapa kita harus terjebak pada kategori baik dan jahat? Inilah wajah nihilisme yang lahir dari peradaban Barat sebagaimana dilihat oleh Nietzsche.
1 Comment
Maa syaa Allah…. Ilmu nya sangat bermanfaat.