Selama ini hidup kita banyak disibukkan dengan keduniaan. Kecintaan terhadap dunia terkadang melebihi kecintaan kita kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga boleh jadi kita suka mengabaikan kewajiban-kewajiban beribadah kepada Allah Swt. Kalaupun melaksanakannya mungkin ada unsur keterpaksaan dan hanya gugur kewajiban saja.
Inilah kecenderungan manusia. Karena pada diri manusia ada syahwat keduniaan yang membara. Ajaran Islam tidak membunuh syahwat ini, tetapi mengarahkan dan mendudukkannya sesuai dengan takarannya. Karena kalau dibiarkan dan dibebaskan, justru akan menjerumuskan manusia ke jurang kenistaan dan kehinaan. Allah Swt berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤
Artinya: “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS. Ali-‘Imran [3]:14).
Maka pada bulan Ramadhan ini merupakan momentum yang tepat untuk kita melakukan instroveksi dan evaluasi diri. Apakah kehausan kita terhadap dunia mengalahkan kegemaran kita untuk beribadah kepada Allah Swt. Bukankah kita menyadari bahwa beribadah merupakan tugas utama kita hidup di dunia? Karena itu, sediakanlah waktu barang sejenak pada bulan Ramadhan ini untuk bertafakkur (berpikir) dan bertadzakkur (merenung) tentang perjalanan hidup yang selama ini kita arungi.
Oleh karena itu, pada bulan suci Ramadhan ini ada sunnah yang hampir punah, yakni I’tikaf. I’tikaf ini merupakan media yang tepat bagi kita untuk merenung dan termenung mengosongkan jiwa kita dari syahwat keduniaan. Karena boleh jadi syahwat keduniaan inilah yang mengotori jiwa kita sehingga kita lupa mempersiapkan bekal untuk kehidupan yang kekal abadi kelak di akhirat. Maka I’tikaf ini disyariatkan untuk dilaksanakan di masjid. Dengan demikian, I’tikaf ini merupakan momentum gerakan kembali menghidupkan dan memakmurkan masjid. Sehingga ruh masjid ini dapat mengisi kegersangan jiwa kita yang didominasi syahwat keduniaan.
I’tikaf ini merupakan syariat yang menyatu dengan kewajiban shaum. Maka dalam rangkaian ayat-ayat tentang shaum diselipkan anjuran untuk I’tikaf. Allah Swt berfirman:
أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ ١٨٧
Artinya: “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan isterimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima taubatmu dan memaafkanmu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakahlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan campuri mereka, ketika kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa” (QS. Al-Baqarah [2]:187).
Di sini I’tikaf dikaitkan dengan kesempurnaan ibadah shaum. Maksudnya, akan lebih bermakna shaum kita apabila di dalamnya dilakukan juga I’tikaf. Juga di antara persyaratan I’tikaf itu harus menjauhi isteri dan dilaksanakan di dalam masjid. Ini menunjukkan bahwa I’tikaf mengandung pengertian juga harus sanggup meninggalkan kemegahan dunia barang sejenak dan meleburkan diri dalam kesyahduan spiritual (ibadah) yang disimbolkan dengan masjid.
I’tikaf secara bahasa artinya diam atau tinggal. Sedangkan menurut syara’ (ajaran Islam) I’tikaf adalah tinggal di masjid dengan maksud beribadah disertai niat mendekatkan diri kepada Allah Swt, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Shafwatut Tafaasir yang ditulis Syeikh Muhammad Ali Ash-Shabuni.
Dengan demikian tepat kiranya bila dikatan, bahwa I’tikaf ini merupakan momentum untuk kembali ke masjid. Karena masjid merupakan tempat yang ideal (tepat dan terbaik) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Di masjid kita dapat memperkokoh keimanan dan ketakwaan. Dengan ruh masjid kita dapat menghindari berbagai macam kemaksiatan dan kejahatan. Bahkan masjid ini menjadi benteng akidah dan akhlak umat untuk mengatasi berbagai macam serbuan gerakan pendangkalan akidah dan pengrusakan moral generasi muda Islam.
Bukankah ketika hijrah ke Madinah yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah saw aspek moral, mental dan spiritual umat dengan mendirikan masjid. Sehingga pada saat itu umat Islam dapat menghalau serbuan musuh-musuhnya dan membangun peradaban di atas landasan keimanan dan nilai-nilai keislaman.
Dalam sejarah dikemukakan, bahwa di antara sahabat Muhajirin yang menjadi saudagar terkaya di Madinah adalah Abdurrahman bin ‘Auf ra. Tetapi sekalipun sudah menjadi saudagar yang paling kaya, ia tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid. Hal ini dilukiskan dalam Al-Qur’an:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرۡفَعَ وَيُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهُۥ يُسَبِّحُ لَهُۥ فِيهَا بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡأٓصَالِ ٣٦ رِجَالٞ لَّا تُلۡهِيهِمۡ تِجَٰرَةٞ وَلَا بَيۡعٌ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَٰرُ ٣٧ لِيَجۡزِيَهُمُ ٱللَّهُ أَحۡسَنَ مَا عَمِلُواْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ يَرۡزُقُ مَن يَشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٖ ٣٨
Artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya di waktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telalh mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas” (QS. An-Nuur [24]:36-38).
Oleh karena itu, dalam masyarakat Islam masjid memiliki kedudukan dan peranan yang sangat penting dan strategis, yaitu: (1) Sebagai asas utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam; (2) Sebagai media tersebarnya ikatan ukhuwwah (persaudaraan) dan mahabbah (kecintaan) sesama kaum Muslimin; dan (3) Sebagai wahana tersebarnya semangat persamaan dan keadilan sesama kaum Muslimin dalam segala aspek kehidupan.
Maka dalam konteks membina masyarakat Indonesia yang agamis, optimalisasi peran dan fungsi masjid di tengah-tengah masyarakat Islam itu harus terus didorong dan dikembangkan. Sehingga masjid benar-benar dapat berdaya dan memberdayakan masyarakat sekitar, baik yang bersifat ritual keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Bahkan dalam Al-Qur’an diungkapkan, apabila masyarakat Islam dalam kehidupannya ingin senantiasa mendapat pencerahan dan bimbingan dari Allah Swt. Maka pemberdayaan dan pemakmuran masjid sesuai dengan peran dan fungsinya menjadi prasyarat mutlak yang harus dioptimalkan. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
إِنَّمَا يَعۡمُرُ مَسَٰجِدَ ٱللَّهِ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَلَمۡ يَخۡشَ إِلَّا ٱللَّهَۖ فَعَسَىٰٓ أُوْلَٰٓئِكَ أَن يَكُونُواْ مِنَ ٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٨
Artinya: “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah. Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Taubah [9]:18).
Wallahu A’lam Bish-Shawab.
1 Comment
Maa syaa Allah..